Aku tau nama beliau Siti Aminah setelah kutanyakan padanya, tepat sebelum ibu tua itu mengucapkan salam dan kemudian pergi bersama air matanya yang menetes.
..............
Sore di hari Senin itu, 20 Juni 2011, baru saja aku sampai di rumah, tepatnya di depan pagar, seorang ibu tua datang menghampiri. Pakaiannya lusuh, membawa tas plastik, dan daun-daun di tangannya. Ibu itu berkata "nak, minta sedekahnya".
Aku jawab, "iya bu sebentar ya, saya masukkan motor dulu.."
"iya nak, ibu tunggu di sini.." kata ibu tua itu.
Setelah aku masukkan motorku ke carport, langsung aku temui ibu itu, dan menyiapkan tidak seberapa uang dari dompet dan kemudian aku lipat kecil dan kugenggam. Lalu aku bertanya, "ibu dari mana?"
Ibu itu bercerita, dan menjawab semua pertanyaanku yang aku tanyakan. Aku penasaran kenapa dia meminta-minta, dan kenapa harus ke kawasan perumahan? tidak biasanya, batinku.
Beliau menyebut dirinya 'mama' setiap kali berbicara denganku. Pertama kali aku tanya beliau menjawab dengan bahasa banjar yang sama sekali aku tidak mengerti. Yang aku paham beliau bilang 'saya bukan orang jawa, jadi tidak bisa sama sekali berbahasa jawa'. (padahal aku bertanya dengan bahasa Indonesia)
Awal yang cukup 'mencengangkan' bagiku, dan membuatku semakin penasaran siapa sosok tua yang di hadapanku. Beliau pasti datang dari jauh.
Kemudian giliranku yang berkata "maaf ibu, saya tidak mengerti bahasa kalimantan."
"Kalau boleh saya tau, ibu dari mana?" pancingku.
"Mama bukan orang jawa nak, mama asli Banjar, Martapura, ...." aku tidak begitu mengerti daerah yg beliau sebutkan, yang aku tau sebatas Martapura.
Cerita berlanjut, bahwa ibu itu bisa sampai di jawa karena anak satu-satunya meninggal dunia, suaminya dulu bekerja mendulang intan di sungai. Sejak anaknya meninggal, beliau dan suaminya pindah ke Surabaya. Kemudian suaminya meninggal. Tinggallah si ibu sebatang kara, merindukan kampungnya yang jauh di seberang pulau jawa. Ibu tua itu pernah bekerja ikut orang selama 8 bulan, kemudian terpaksa berhenti karena penyakit yang dideritanya, kista. Dan lebih menyedihkannya lagi gajinya selama bekerja di sana belum dibayar. Beliau sudah pernah menagihnya ke majikannya, tapi ternyata majikannya tidak mau membayar dengan alasan orang tuanya belum memberinya uang. (Sepertinya yang mempekerjakan ibu ini cuma seorang mahasiswa)
Beliau juga pernah mencoba usaha berjualan, mungkin seperti buka warung kecil-kecilan. Tapi beliau malah diusir dengan orang, sambil berkata kasar "urus-urusen dewe".
Ingin rasanya pulang, tapi uang untuk makan saja susah, butuh biaya besar untuk sampai di Kalimantan walaupun hanya dengan kapal. Mau bekerja pun sulit, karena kistanya. Tidak bisa bekerja berat.
Ibu itu meneteskan air mata sesekali saat bercerita. Dalam hati aku juga seperti merasakan apa yang ibu itu rasakan. Begitu beratnya cobaan dari Allah, tapi beliau tetap beriman. Aku mendengarkan dengan seksama, karena logat banjarnya yang kental membuatku harus jeli mendengarkan. Ibu itu bercerita lagi.
Kantong plastik yang dia bawa-bawa itu isinya adalah mukenah, baru saja dia sholat di masjid dekat rumahku. Dia dengan bangga sambil memperlihatkan isi kantong plastiknya yang berisi mukenah. Aku berdoa, mudah-mudahan dengan ketabahannya, keimanannya, ibu itu diberikan rahmat yang berlimpah dari Allah. Subhanallah, di kala susah dan cobaan bertubi-tubi beliau selalu mengingat Allah. Beliau juga bilang di setiap langkahnya adalah doa, dan dzikir, agar diberikan rezeki dan kesembuhan dari sakitnya. Daun yang ditangannya untuk mengobati kistanya, diberikan oleh seseorang.
Lalu aku bertanya, "ibu, rumahnya dimana?"
Ibu itu bercerita lagi. Beliau tinggal di masjid-masjid. Biasanya beliau tinggal di masjid di dekat indomaret sukarno hatta. "yaah, kadang mama tinggal dimanapun kaki ibu melangkah aja nak", kata beliau.
"mama kebetulan saja lewat sini, mencoba meminta sedekah. Mama lapar nak. Biasanya kalau minta-minta diusir satpam. Ini saja satpamnya lagi tidak lihat. Mama butuh beli makanan, mama tidak bisa masak kalau diberi bahan makanan, karena mama tidak punya rumah, apalagi alat-alat masak. Mama minta-minta terpaksa nak, malu. Tapi tadi mama coba-coba minta siapa tau Allah memang memberi rezeki. Sekali lagi nak, MINTA-MINTA ITU MENYAKITKAN, MALU, TAPI MAMA TERPAKSA.."
Sambil mengusap air matanya beliau mengatakan itu, tak tahan mungkin dengan keterpaksaannya. Aku mengerti sekali, karena bagi orang beriman lebih baik bekerja daripada meminta-minta.
"yasudah nak, mama mau pergi, terima kasih..", kata beliau berpamitan. Beliau mengucapkan terima kasih padahal aku belum memberikan apa-apa. Segera sebelum ibu itu meninggalkanku, kupindahkan yang ada di genggamanku ke tangan ibu itu.
"mudah-mudahan dengan yang tidak seberapa ini cukup membantu ibu, maaf tidak bisa membantu banyak ya bu. tapi saya doakan semoga ibu bisa pulang ke kalimantan dan ibu cepat sembuh.", kataku dengan suara mendalam dan menahan air mata.
Ibu itu mengucapkan terima kasih lagi dan mendoakanku. Saat beliau berdoa, tidak kuasa lagi aku menahan air mata, dan mengucapkan "aammiin" tanpa bersuara. Berat! Sesak aku mendengarkan kisah hidupnya yang begitu berat, dan kesalutanku terhadap perjuangan beliau di usia senjanya 'meminta dengan rasa malu yang begitu besar'. Tidak semua, bahkan tidak ada orang yang pernah aku temui yang seperti beliau.
Subhanallah!
Sebelum beliau beranjak pergi, aku kuatkan bertanya, "maaf ibu, kalau saya boleh tau ibu namanya siapa?"
"mama namanya Siti Aminah nak. Itu nama mama. Yasudah mama pergi dulu, Assalamu'alaikum", kata ibu tua itu dengan senyum dan matanya yang basah sambil beranjak pergi dari hadapanku.
Kubalas senyumnya dan menjawab salam dengan tanpa suara, dan dengan air mata yang membuncah. Aku ga kuat, rasa kasihan terhadapnya begitu besar. Harapan dan doa kupanjatkan agar Allah selalu merahmati, mengangkat sakitnya, dan memberikan kemudahan untuk kepulangannya ke Kalimantan.
Selamat jalan ibu Siti Aminah. Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi. :')
ya Allah, lembutkanlah selalu hati kami, agar selalu kami keluarkan nilai-nilai fitrah itu. semua itu asmaMu ya Allah, maka lembutkanlah hati kami.. aammiin..
No comments:
Post a Comment